FENOMENA PENDIDIKAN :
DILEMA MENJADI SEORANG GURU DAN PROGRAM PENDIDIKAN
PROFESI GURU (PPG) BAGI SARJANA KEPENDIDIKAN
Oleh Bung RF
Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha membudayakan
manusia atau memanusiakan manusia, pendidikan amat strategis untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dan diperlukan guna meningkatkan mutu bangsa secara
menyeluruh. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia merupakan
suatu sistem pendidikan nasional yang diatur secara sistematis. Seperti yang
tercantum pada UU No.20 Tahun 2003, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Indonesia, Negara dengan jumlah penduduk sekitar dua
juta lebih dengan keanekaragaman adat istiadat, kepercayaan, budaya dan
karakteristik yang berbeda-beda. Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia,
Indonesia menghadapi masalah yang sangat kompleks. Khususnya dalam bidang
pendidikan. Pada praktiknya, kualitas pendidikan di Indonesia dinilai masih
rendah jika dibanding dengan negara-negara lain, sebagai contoh di kawasan Asia
Tenggara saja, seperti Malaysia, Singapura, bahkan Brunai Darussalam. Selain
itu masalah besar yang dihadapi Indonesia seperti belum meratanya pendidikan di
seluruh pelosok wilayah Negara kesatuan republik Indonesia, sarana dan
prasarana pendidikan yang masih minim di seluruh negeri, juga pudarnya moral
dan akhlak anak Indonesia yang semakin hari semakin menjadi. Hal itu
dipengaruhi oleh banyak sebab, seperti luasnya wilayah Negara Indonesia yang
terpisah-pisah dalam gugusan kepulauan, pendidikan karakter yang terabaikan,
pendidikan moral dan agama yang masih sangat kurang, dan berbagai macam
penyebab dan pengaruh dari intern
maupun ekstern lainnya.
Sebagai mahasiswa pendidikan secara umum dan sebagai
mahasiswa sejarah pada khususnya, tentu
miris dan prihatin melihat fenomena pendidikan di Indonesia yang ada sekarang
ini. Kita lihat banyak anak-anak di pelosok negeri harus berjuang menentang
maut, menempuh jarak berkilo-kilo meter, segala medan yang sulit ditempuh hanya
untuk dapat bersekolah. Dilain sisi anak-anak di daerah yang mendapat akses
pendidikan sangat memadai malah berlaku atau melakukan tindakan-tindakan yang
tak bermoral dan tidak mencerminkan sebagai orang yang berpendidikan. Seperti
tawuran, bolos sekolah, meminum minum-minuman keras, berzina dan lain
sebagainya, Sungguh ironi, seperti dua mata uang logam yang berbanding
terbalik. Apakah pendidikan ini yang dicita-citakan? Lalu apa sebobrok itukah
gambaran pendidikan kita sekarnag ini?. Ya mungkin saja. Kita tidak memungkiri
bahwa sistem pendidikan kita yang morat-marit
sebagai salah satu penyebab dari ketidak tercapainya secara menyeluruh dan
maksimal hasil pendidikan yang selama ini dijalankan.
Dalam dunia pendidikan peran seorang guru sangat
vital. Dimana seorang guru mempunyai tanggung jawab untuk mengarahkan,
membimbing, menjadi contoh, dan mentransfer ilmu dengan baik dan maksimal.
Sehingga dengan demikian diharapkan dapat mencetak murid-murid yang berkualitas
dan selaras dengan tujuan pendidikan. Oleh karena itulah tugas guru disini
sangat berat, karena harus menyelamatkan generasi masa depan dari kebutaan dan
mencerdaskan kehidupan bangsa untuk mewarnai keadaan bangsa yang akan datang
serta menghasilkan calon pemimpin-pemimpin bangsa yang bertanggung jawab dan
bermoral.
Masyarakat selalu menyorot guru sebagai orang yang paling
bertanggung jawab dalam dunia pendidikan. Guru diharapkan menyandang
sifat-sifat manusia yang handal kualitasnya secara keseluruhan. Hal ini
dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa guru yang berkualitas diharapkan dapat
membentuk siswa yang juga berkualitas. Tetapi harus di ingat pula, bahwa guru
berasal dari LPTK semacam IKIP(sekarang sudah banyak yang menjadi universitas).
Kalau kita mau amati, tidak sedikit orang yang menganggap bahwa LPTK adalah
pilihan terakhir atau alternatif aman sebagai pilihan dari ketidakmampuan masuk
ke jenjang non-kependidikan. Dan masyarakat tampaknya sudah mempunyai suatu
pandangan untuk melarang anaknya masuk
IKIP lebih-lebih anak yang prestasinya baik. Bukankah semua ini merupakan suatu
ketidaksinkronan/kepincangan? Di satu sisi masyarakat mengharapkan kualitas
seorang guru akan tetapi di sisi lain tidak mendukung pembentukan bibit guru
yang berkualitas. Karena biasanya guru yang berkualitas berasal dari siswa yang
juga berprestasi. Walaupun siswa berprestasi bukan jaminan menjadi sosok yang
berkualitas mengingat kriteria kualitas tidak hanya diambil dari prestasi nilai
kognitifnya saja.
Kemudian yang masih hangat baru-baru ini, munculnya
program PPG (Pendidikan Profesi Guru). Pendidikan profesi guru merupakan sebuah
program baru dari kementerian pendidikan dan kebudayaan. Kebijakan ini
dikeluarjan dengan tujuan guna meningkatkan kompetensi tenaga pendidik. Selain
itu, berdasarkan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10 ayat (1),
seorang diwajibkan mengantongi sertifikat pendidik yang didapat melalui
penddikan profesi. Selanjutnya berdasarkan Permendikbud No. 87 tahun 2013 Pasal
4 ayat (1), sertifikat pendidik diperoleh melalui PPG. Dalam Pasal yang 6
peraturan sama, disebutkan jika kualifikasi pesera PPG berasal dari sarjana
strata satu baik dari sarjana pendidikan maupun non-kependidikan yang serumpun.
Hal yang masih menjadi perdebatan, dan sering
dilontarkan oleh kubu yang menolak program ini (khususnya mahasiswa sarjana
kependidikan) sebagia berikut. Pertama, mengapa seorang sarjana kependidikan
harus mengikuti PPG? Memang seorang guru seperti yang tercantum dalam SISDIKNAS
merupakan tenaga pendidik professional sehingga harus mengikuti penididkan
profesi. Yang menjadi pertanyaan, lantas unuk apa seorang sarjana kependidikan
harus menempuh pendidikan di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)
selama bertahun-tahun jika ujung-ujungnya harus ikut PPG ?. Kurikulum PPG pada
dasarnya juga hanya mengulang materi yang ada dalam kurikulum jurusan
kependidikan di LPTK. Ini dinilai merupakan sebuah pemborosan dari segi waktu,
tenaga, dan biaya.
Kedua, salah satu dasar argumentasi pelaksanaan PPG
ini adalah rendahnya kompetensi guru yang telah ada. Padahal permasalahan
rendahnya kualitas pendidikan ini tidak serta merta dapat diatasi melalui PPG.
Alangkah lebih baik jika peningkatan kualitas pendidik ini dilakukan dengan
perbaikan kurikulum di LPTK tanpa harus membuat program baru. Apalagi fakta
bahwa adanya kesamaan kurikulum PPG dengan sejumlah mata kuliah pada jenjang
strata satu kependidikan, maka argumen ini patut dipertanyakan.
Ketiga, secara biaya PPG ini ternyata membutuhkan
dana yang tidak sedikit. Biaya tersebut ditentukan oleh LPTK penyelenggara PPG.
Hal ini tentunya menambah beban lagi bagi mahasiswa terlebih mahasiswa kurang
mampu. Jika dilihat lebih lanjut, hal ini merupakan dampak dari komersialisasi
pendidikan yang membebankan biaya operasional kampus kepada kampus yang
bersangkutan, sehingga kampus berusaha mencari sumber dana tersendiri.
Selain itu sudah seharusnya, Institusi penyelenggara
program kependidikan pun mulai berpikir, melihat carut marutnya arah pendidikan
kita ini, sudah semestinya para bapak rektor universitas kependidikan dan para
guru besarnya mengajukan keberatan terhadap program PPG semacam ini. Apa
untungnya membuka jurusan kependidikan, jika pada akhirnya lulusan mereka tidak
memiliki daya saing apapun dengan lulusan non kependidikan. Apa untungnya bagi
kita yang masuk ke kampus kependidikan jika pada akhirnya sisa lahan pekerjaan
yang diperuntukkan untuk kami pun harus kami perebutkan dengan mereka yang
memiliki basic ilmu murni. Maka jika
begini keadaannya, anak muda akan berfikir, lebih baik mereka memilih
kampus-kampus negeri maupun swasta berkualitas yang mampu membekali mereka
disiplin ilmu pasti, dan saat mereka ingin bekerja dalam lingkungan pendidikan,
cukuplah mengikuti program PPG yang hanya satu-dua tahun yang dapat dimiliki.
Hal ini bukan berarti kita yang berada di jalur kependidikan takut atau minder
dengan persaingan non-kependidikan, akan tetapi jika begini kami yang sudah
menempuh belajar bertahun-tahun serasa dilukai dan digampangkan, dipandang
sebelah mata, dipertanyakan kredibilitas atau kualitasnya.
Berdasarkan uraian diatas, tentu program PPG ini
dinilai merugikan bagi sarjana kependidikan. Seharusnya pemerintah dapat lebih
jeli lagi dalam penganbilan keputusan ini, agar tidak ada berat sebelah
kebijakan. Diharapkan pemerintah mau meninjau kembali UU No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen pasal 10 ayat (1) dan Permendikbud No. 87 tahun 2013
pasal 4 ayat (1) dengan mengubah ketentuan mendapatkan sertifikat pendidik
melalui program strata satu sarjana kependidikan dan bukan program pendidikan
profesi. Atuapun setidaknya mencari alternatif lain agar program pendidikan
profesi ini tidak melukai para sarjana kependidikan.
Inilah dunia pendidikan di Indonesia. Banyak masalah
yang begitu kompleks. Masalah terus datang silih berganti tanpa diiringi sikap
tegas dan kedewasaan pemerintah yang dituntut dapat memberikan sistem
pendidikan yang bermartabat, berkualitas, dan bertanggung jawab. Masalah dasar
dan utama seperti pemerataan pendidikan beserta fasilitasnya di seluruh penjuru
negeri belum dipenuhi dan masih terkesan setengah hati untuk memperjuangkan
cita-cita luhur pendidikan yang merata demi mewujudkan kecerdasan bangsa. Ikut
campurnya politik yang kotor, kepentingan segelintir individu, komersialisasi,
penyalahgunaan wewenang, menyebabkan cita-cita pendidikan sulit diwujudkan di
negeri ini. Ketika para penguasa hanya memikirkan dirinya sendiri, maka
tergadailah impian para anak-anak diseluruh pelosok negeri untuk maju, untuk
mendapatkan haknya mengenyang pendidikan yang baik, dan harapan untuk memajukan
negerinya tercinta. Semoga pada pilpres tahun ini, terpilihlah
pemimpin-pemimpin yang jujur, amanah, bertanggung jawab, tegas dan peduli khususnya
pada dunia pendidikan. Merekalah ujung tombak pengambil keputusan yang mempunyai
peran penting dalam upaya menyelamatkan putra-putri bangsa. Saya yakin negeri
ini mampu, putra-putri negeri ini mampu untuk mengangkat harkat dan martabat
bangsanya. Bangsa yang telah lama tertidur, lemah untuk kembali berjaya.
Sebagai calon tenaga pendidik dimasa
yang akan datang, tentu kita mahasiswa kependidikan berharap yang terbaik bagi dunia
pendidikan Indonesia. Pendidikan yang menyeluruh, merata ke seluruh penjuru
negeri, pendidikan yang berkualitas dan mempunyai daya saing tinggi, pendidikan
yang selaras dengan cita-cita pendidikan, yang menjunjung tinggi rasa persatuan
dan kesatuan bagi tetap berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar