Juangnoesantara.blogspot.com

no copas

Pages

Sabtu, 02 November 2013

Resensi Novel Ronggeng Dukuh Paruk

Judul Buku      : Ronggeng Dukuh Paruk
Penulis             : Ahmad Tohari
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan           : 2003
Tebal               : 400 hlm.

Buku ini merupakan gabungan dari trilogi buku Ronggeng Dukuh Paruk (Catatan Buat Emak), Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala karya Ahmad Tohari. Awal saya membaca novel ini saya belum bisa merasakan ceritanya. Tetapi setelah beberapa halaman selanjutnya saya jadi sangat tertarik dan penasaran bagaimana cerita lengkapnya sampai selesai. Bagaimana Srintil dan semua lika-liku kehidupannya sebagai seorang ronggeng.
       Ahmad Tohari lahir di Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, 13 Juni 1948. Beliau menamatkan sekolahnya di SMAN 2 Purwokerto. Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di beberapa fakultas Perguruan Tinggi seperti ilmu kedokteran, ekonomi dan terakhir sosial politik. Karya pertama beliau yaitu novel Di Kaki Bukit Cibalak tahun 1977, kemudian Kubah 1980, dan novel Ronggeng dukuh paruk yang ketiga tahun 1981 dan Lintang Kemukus Dini Hari keempat yang merupakan satu trilogi tentang ronggeng Dukuh Paruk.
          Novel Ronggeng Dukuh Paruk menceritakan gadis cantik yang bernama Srintil yang menjalani hidupnya sebagai seorang ronggeng Dukuh Paruk, beserta kisah cintanya bersama seorang pemuda bernama Rasus yang tak lain temannya sendiri sejak kecil. Dimulai dari latar belakang perkampungan Dukuh Paruk yang terpencil, terbelakang dan kecabulannya. Serta memiliki suatu kesenian yang menjadi ciri khasnya yaitu pertunjukan ronggeng. Menjadi seorang ronggeng di Dukuh Paruk merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Ia tidak dianggap sebagai perempuan rendahan melainkan dipuji, dibanggakan dan diistimewakan oleh semua orang. Telah belasan tahun sudah Dukuh Paruk kehilangan ronggeng. Suasana dan kehidupan Dukuh Paruk serasa mati. Tak ada lagi hiburan, suara calung, dan tentunya tidak ada lagi seorang penari ronggeng. Srintil gadis cantik yang kala itu masih berumur sebelas tahun terpanggil hatinya untuk menjadi ronggeng. Terlebih dengan dukungan Sakarya kakeknya dan dukun ronggeng Kertareja yang mengatakan serta  membuktikan sendiri bahwa Srintil telah dirasuki oleh inang ronggeng. Hari- hari Srintil berubah drastis setelah menjadi seorang ronggeng. Kedekatannya dengan Rasus menjadi jauh, Rasus merasa kehilangan sosok Srintil yang juga ia jadikan sosok gambaran emaknya yang hilang riwayatnya entah kemana.
            Konflik demi konflik mulai banyak digambarkan Ahmad Tohari ketika Srintil harus menjalani malam bukak kelambu dan hingga Rasus dan Srintil ternyata saling mencintai. Rasus yang tidak setuju dengan pilihan Srintil menjadi seorang ronggeng terlebih menjalani malam bukak kelambu, membuat Rasus kecewa terhadap Srintil. Akhirnya Rasus memilih menjauhi Srintil dan meninggalkannya dengan ikut bergabung menjadi tentara.

          Setelah menghilangnya Rasus, Ronggeng Dukuh Paruk itu terpukul dan terpuruk. Ia sadar akan jalan hidupnya sebagai seorang ronggeng, dimana harus meninggalkan keinginan pribadi dan menyerahkan dirinya untuk semua orang. Dalam hatinya Srintil juga ingin hidup seperti perempuan-perempuan yang lain. Hidup bersama orang yang dicintainya dan menjadi ibu dari anak-anak suaminya. Kegalauan yang dialami Srintil dari hari kehari semakin menjadi. Ia menolak melayani laki-laki maupun pentas sebagaimana pekerjaan ronggeng. Ia memilih menutup diri dan mengisi kekosongan hatinya dengan mengasuh Goder, anak dari tengganya yang bernama Tami. Ia sangat memanjakan Goder dan sudah menganggapnya sebagai anaknya sendiri. Hal inilah yang membuat Srintil semakin teguh pada pendiriannya untuk berhenti menjadi ronggeng dan memilih mengasuh Goder serta belajar menjadi wanita rumahan.
          Setelah sekian lama Srintil tidak mau pentas, suatu ketika datanglah tawaran menari dari kantor Kecamatan Dawuan yang akan menggelar pentas kesenian menyambut perayaan Agustusan. Awalnya Srintil tidak mau, tetapi setelah diyakinkan oleh Sakum akhirnya ia mau menerima tawaran tersebut. Sama selaki ia tidak membayangkan akibat lebih jauh yang akan menimpa dirinya dan Dukuh Paruk dari penampilannya di panggung perayaan Agustusan itu, yang memang pada tahun 1965 sengaja dibuat berlebihan untuk propaganda oleh kelompok yang disinyalir Partai Komunis Indonesia (PKI). Bendera merah dipasang di mana-mana dan muncullah pidato-pidato yang menyebut rakyat tertindas, kapitalis, imperalis, dan sejenisnya. Kemudian setelah itu semua warga Dukuh Paruk ditangkap polisi karena diduga terlibat dalam kegiatan PKI. Termasuk juga Srintil, Ronggeng Dukuh Paruk yang ayu dan kenes itu. Hal ini tentu disebabkan karena kebodohan warga Dukuh Paruk sendiri yang dengan mudah terprovokasi dan terpedaya oleh seorang yang bernama Bakar, yang berhasil menghasut dan menjerumuskan mereka dalam kegiatan dan propaganda Partai Komunis Indonesia (PKI).
           
Setelah dua tahun menjadi tahanan, Srintil bebas dan memulai lembaran kisah hidupnya yang baru. Meninggalkan predikat ronggengnya dan menjadi perempuan biasa seutuhnya. Hingga pada suatu ketika ia bertemu dengan seorang yang bernama Bajus dan membuka hati padanya. Tetapi Bajus yang ternyata mengidap impoten itu hanya memberi harapan kosong kepada Srintil. Bahkan demi untuk kepentingan pribadi, Bajus menawarkan Srintil kepada atasannya Pak Blengur, seorang pimpinan pejabat proyek. Srintil sangat terpukul, kecewa dan hatinya hancur. Seluruh harapan dan cita-citanya untuk membangun sebuah keluarga musnah, dan Srintil mengalami gangguan kejiwaan. Kemudian di akhir cerita, Rasus yang pulang ke Dukuh Paruk sedih melihat kehancuran kampung halamannya pasca peristiwa September 1965, terlebih melihat keadaan Srintil yang sangat menyedihkan. Akhirnya demi kebaikan Srintil, Rasus dengan berat hati membawanya ke rumah sakit jiwa.
         Kelebihan dari novel ini, ceritanya sangat bagus dan menarik. Mengambil latar belakang budaya lokal dan membumbuinya dengan peristiwa 1965 kala itu. Gaya bahasa yang digunakan oleh penulis begitu gamblang dan apa adanya, sehingga mudah dipahami oleh pembaca. Sedangkan Kekurangan pada novel ini, yang pertama desain sampul kurang menarik. Kedua, banyak bagian cerita yang sedikit fulgar dan bagi umum bisa dikatakan kurang sopan. Secara keseluruhan novel ini menurut saya sangat bagus dan penuh emosi. Harapan saya semoga novel-novel yang berlatar belakang budaya lokal ataupun sejarah seperti Ronggeng Dukuh Paruk ini lebih banyak lagi yang bermunculan dan dapat dinikmati oleh masyarakat luas, khususnya para pemuda.


0 komentar:

Posting Komentar